Tak Ada Salahnya Untuk Memulai Lagi Dari Awal

![]() |
Tak Ada Salahnya Untuk Memulai Lagi Dari Awal. (Foto: Pexels/Bich Tran) |
Usia mau 25 tahun, tapi malah resign. Kondisi ekonomi nggak stabil, tapi malah memilih menjadi freelancer. Lowongan kerja sedang sulit, tapi memilih kembali mencari baru. Itu yang saya rasakan ketika memasuki Juli 2025 ini. Tapi, bagi saya, tak ada salahnya mulai lagi dari awal.
Mungkin, ini yang orang sebu quarter-life crisis. Sebuah fase di mana kita mempertanyakan setiap pilihan yang telah kita buat. Saya yang sudah bertahun-tahun di dunia jurnalistik dan freelance, harus menjadi buruh pabrik karena krisis keuangan. Tapi, akhirnya saya kembali ke dunia lama saya dan memulai lagi dari awal.
Tulisan ini bukan panduan kesuksesan. Ini hanyalah catatan perjalanan. Perjalanan untuk memahami bahwa terkadang, langkah paling berani bukanlah bertahan di tengah badai, melainkan berani untuk memutar arah, dan menyadari bahwa tak ada salahnya untuk memulai lagi dari awal.
Menghadapi Lingkungan Kerja yang Nggak Sehat
Pengalaman saya di perusahaan itu benar-benar buruk. Gajinya saja yang oke. Bayangkan, saya baru selesai shift malam dan pulang jam 6 pagi. Tapi, jam 2 siangnya, saya harus lembur dan menyelesaikan shift sore. Dan, itu terjadi bisa hampir setiap Minggu. Apalagi tanggal merah, rasanya kalender semuanya warnanya hitam.
Hal yang paling ngenes bagi saya adalah momen Idul Adha. H-1 Idul Adha, masih ada karyawan shift malam yang bekerja dan pulang jam 6 pagi. Dari cerita mereka, mereka memilih diam dulu di tempat kerja sampai salat id selesai karena malu. Pas Hari-H Idul Adha, karyawan bahkan dipaksa bekerja untuk shift sore dan malam.
Bagi saya, waktu istirahat itu hak karyawan. Bukan berarti karyawan yang suka libur itu pemalas. Tapi bagi saya, waktu libur adalah kesempatan untuk refresh dan upgrade otak. Sering kali saya ikut kelas online sambil bekerja dan itu sulit untuk konsentrasi. Bahkan, waktu libur bisa dimanfaatkan untuk bisnis dan berkarya.
Para pekerja shift, seperti saya, adalah garda terdepan yang berkorban, bahkan di hari libur sekalipun. Tapi, melihat para atasan bisa menikmati akhir pekan dan berlibur dengan utuh sangat menyakiti hati saya. Budaya kesenjangan ini yang menurut saya semakin menjadikan tempat kerja itu tidak sehat.
BACA JUGA: Belajar Menulis Lebih Cepat Biar Nggak Keteteran Deadline
Titik Balik Melalui Buku
Suatu ketika, saya bekerja shift malam. Saya mengunduh ebook berjudul “Berani Tidak Disukai” yang ditulis Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga. Saya menyelesaikan buku itu selama masa notice sebelum saya resign. Dan, buku itu benar-benar membuka pikiran saya tentang hidup.
Saya sadar, saya resign bukan karena lingkungannya toksik. Tapi, saya resign untuk tujuan hidup yang lebih tenang dan sehat. Lingkungan toksik itu hanya jadi alasan untuk menguatkan tujuan yang sudah ada dalam diri saya. Itu yang buku tersebut ajarkan.
Dari buku itu, saya belajar melepaskan beban dari penilaian orang lain. Kekhawatiran rekan kerja, atasan, keluarga tentang pekerjaan adalah ‘tugas’ mereka, bukan ‘tugas’ saya. Tugas saya adalah membangun karir yang sesuai dengan passion dan keinginan saya.
Di tempat kerja sebelumnya, saya sadar bahwa saya nggak pernah ‘memiliki tempat’. Maka, adalah tugas saya untuk mencari atau menciptakan ‘komunitas’ lain di mana saya bisa merasa diterima dan berkontribusi dengan tulus. Dengan begitu, saya bisa memaksimalkan potensi yang ada dalam diri saya.
Ada buku lain yang saya baca dan masih berlanjut sampai sekarang, yaitu buku berjudul “Nak, Belajarlah Soal Uang” karya Jeon Seong Yong. Dari sana, saya belajar tentang kunci utama dalam keuangan bukan mengejar pendapatan, melainkan mengatur pengeluaran. Itu saya disiplinkan setelah resign dengan pencatatan yang baik.
Dari buku, hal yang saya kagetkan adalah soal budaya di Korea Selatan. Di Negeri Gingseng, anak muda berusia 25 tahun merupakan usia yang wajar untuk memulai karir. Sementara sebelum 25 tahun, merupakan waktu yang masih wajar untuk belajar. Saya terperanjat soal itu karena berbeda dengan budaya di Indonesia.
Proses Membangun Kembali
Saya punya ketakutan finansial. Tapi, kemudian, saya memutuskan melawan itu dengan berbagai aset yang saya miliki. Aset ini adalah hal-hal yang sudah saya kumpulkan sejak bekerja 5 tahun terakhir. Pengalaman, keahlian, rencana, dan dukungan adalah aset saya.
Saya pernah membiayai kuliah S1 saya hingga lulus dari hasil menjadi wartawan dan penulis. Jika dulu bisa, kenapa sekarang nggak? Saya juga punya keahlian jurnalisme yang sudah teruji dan terdaftar di Dewan Pers, mampu menulis artikel SEO, membuat website, design grafis, edit video, dan lain-lain. Itu semua perlu saya kembangkan.
Dari aset itu, saya memunculkan aset lainnya. Saya membuat rencana produk digital yang matang dan otentik. Saya bosan dengan iklan produk digital yang rasanya itu-itu saja, saya ingin menjual pemikiran, kreatifitas, dan pandangan yang baru. Dan yang terpenting, adalah dukungan dari pacar saya, Anita Rahayu. Dia yang meyakinkan saya bahwa saya bisa melakukannya.
Dari semua itu, saya nggak pernah nanya lagi “Gimana caranya saya sukses dalam 3 tahun?”. Sekarang, saya nanya ke diri saya, “apa yang bisa saya lakukan hari ini?”. Tentu, yang bisa saya lakukan adalah berkarya setiap hari, menulis setiap hari, membaca setiap hari, belajar setiap hari. Dari jam ke jam, hari ke hari. Di sini dan saat ini.
Saya juga masih aktif mencari pekerjaan baru. Mencari lingkungan yang supportif dan sehat. Mencari tempat yang mampu membantu saya bertumbuh dalam karir dan skill. Nggak cuma jadi robot yang menyelesaikan tugas dari hari ke hari, tapi memecahkan masalah dan mengembangkan pola pikir yang lebih kritis.
BACA JUGA: 3 Kebiasaan yang Wajib Dimiliki Content Writer Agar Berkembang
Memilih Keberanian di Garis Start yang Baru
Kalau kamu mengalami hal yang sama, kamu nggak lemah sama sekali. Bertahan di lingkungan yang merusak bukanlah kekuatan, tapi penyiksaan diri. Kekuatan yang sesungguhnya adalah keberanian untuk mengakui bahwa kita nggak baik-baik aja, dan berani mengambil langkah untuk mengubahnya.
Setiap merasakan kehampaan, lelah, dan hilang arah, mungkin itu bukan tanda kamu harus berusaha lebih keras di jalan yang sama. Mungkin itu adalah tanda bahwa kamu harus berani mencari jalan yang baru. Ubah pola pikir, sebab di masa depan, generasi kita lah yang akan memimpin.
Tak ada salahnya untuk memulai lagi dari awal. Setiap awal yang baru adalah kesempatan untuk menulis cerita yang benar-benar kita inginkan. Dan saya, hari ini, memilih untuk memegang pena dan memulai Bab 1 dari cerita saya yang baru.