Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Saya Memilih Resign Jadi Buruh Pabrik dan Kembali Jadi Wartawan, Uangnya Memang Sedikit Tapi Kebahagiaannya Melebihi Apapun

Setelah beberapa bulan jadi buruh pabrik, saya memilih resign lalu kembali jadi wartawan dan penulis. Uangnya nggak seberapa, tapi membahagiakan.

Saya Memilih Resign Jadi Buruh Pabrik dan Kembali Jadi Wartawan, Uangnya Memang Sedikit Tapi Kebahagiaannya Melebihi Apapun
Saya Memilih Resign Jadi Buruh Pabrik dan Kembali Jadi Penulis, Uangnya Memang Sedikit Tapi Kebahagiaannya Melebihi Apapun. (Foto: Arsip Pribadi)

Tak pernah terbayangkan sama sekali dalam hidup saya untuk menjadi seorang buruh pabrik. Setelah 5 tahun menjadi wartawan dan penulis, saya terpaksa jadi buruh untuk memperbaiki finansial. Tapi, setelah beberapa bulan menjalaninya, saya memutuskan resign dan kembali ke profesi lama saya. Gaji di pabrik bisa dibilang besar, tapi ternyata, kebahagiaan belum tentu mudah didapat hanya dari nominal angka.

Menjadi wartawan dan penulis adalah cita-cita saya sejak kecil, berhasil mewujudkannya di usia 19 tahun memberikan motivasi tinggi untuk belajar. Profesi itu bahkan bisa membawa saya lulus S1 tanpa bantuan uang orang tua. Tapi, seiring berkembangnya zaman, dunia kepenulisan dan jurnalistik kian tergerus, terutama setelah Covid-19 melanda. Ekonomi morat-marit, sumber penghasilan kian hilang, dan lain sebagainya.

Kini, dengan semangat baru yang membara dalam diri saya, saya seperti menemukan lagi diri saya yang berusia 19 tahun itu. Di sela-sela bekerja di pabrik, saya merencanakan banyak hal yang bisa saya lakukan setelah resign, membangun blog, lebih banyak menulis, lebih banyak membaca, dan terus mengasah kreatifitas. Menjadi kreatif, menurut saya, sama dengan menjadi bahagia.

Ketika menjadi admin di pabrik, pekerjaan saya berkutat dengan hal yang itu-itu saja. Mengurusi jumlah barang, update stock, mengelola data Excel, dan lain sebagainya. Setiap hari, Senin-Sabtu, bahkan Minggu sekali pun saya harus bekerja dengan pekerjaan yang itu-itu saja. Tidak jarang saya cuma duduk di kantor makan gaji buta karena harus lembur Minggu hanya untuk menjaga gudang. 

Terlebih, aturan perusahaan yang aneh-aneh membuat saya semakin merasa terkekang di sini. Contohnya, saya tidak boleh bawa parfum, tidak boleh pakai jam tangan, tidak boleh bawa rokok walau di smoking area banyak karyawan yang merokok entah dari mana. Bahkan, saya tidak boleh bawa makanan atau minuman dari luar, meskipun di sini disediakan makanan sekali dan air minum kemasan yang memang produk utama dari pabrik ini.

Jam kerja di sini juga luar biasa eksploitatif. Bayangkan, saya pernah pulang shift 3 jam 6 pagi, lalu diminta masuk shift 2 pada jam 14 siang. Dan, itu terjadi pada hari Minggu. Memang, lemburnya dibayar, itu bagus, tapi nggak bagus buat kesehatan tubuh dan mental. Sayangnya, ada sedikit karyawan yang sadar soal ini.

Rasa terkekang ini menghambat kreatifitas dan kebahagiaan. Satu-satunya kebahagiaan yang muncul adalah ketika gajian tiba. Ketika cek rekening sudah ada uang masuk sekian juta rupiah, rasa bahagia muncul. Saya langsung buka kalkulator buat menghitung pengeluaran. Tapi setelahnya, sama saja, nggak ada bedanya.

Menjadi pekerja kreatif seperti wartawan dan penulis memang terkenal dengan ekonominya yang sulit. Tapi, itu tidak menjadi hambatan buat saya. Era digital yang serba maju ini membawa saya ke posisi serba mudah asalkan mau gerak. Sedikit demi sedikit saya menambah klien yang menggunakan jasa saya menulis artikel SEO, dan membuat rencana bisnis untuk media tempat saya bekerja.

Saya juga jadi punya banyak waktu untuk ikut kelas demi meningkatkan skill, ada banyak waktu pula untuk membaca buku. Dengan begitu, saya sebagai anak muda bisa terus berkembang dan relevan di masyarakat. Tujuan utamanya mungkin bukan cuma uang sekarang, tapi bagaimana karya saya bisa menjawab persoalan dan keresahan masyarakat.

Waktu, adalah harta paling berharga yang bisa banyak bisa sedikit, ketika dihabiskan pun tidak bisa kembali. Dengan memiliki waktu yang fleksibel sebagai pekerja kreatif, saya bisa mengharmonisasikan hidup saya dengan hal-hal lain. Saya bisa main dengan keponakan setelah jarang ketemu, bisa menerima undangan pelatihan menulis di sekolah dan kampus, dan lain sebagainya.

Saya memang menyesal menjadi buruh pabrik, tapi menyesal tak memberikan dampak apa pun. Bagaimana pun juga, dengan menjadi buruh pabrik, akhirnya saya tahu betapa bobroknya sistem ketenagakerjaan di negara kita. Saya tahu ternyata kesenjangan antara atasan dan bawahan itu nyata adanya. Saya juga jadi paham ternyata menjadi pegawai outsourcing itu seperti nggak punya hidup, menuntut keadilan bisa dipecat, memilih pasrah akan dieksploitasi.

Daily Life
Muhammad Afsal Fauzan S.
Muhammad Afsal Fauzan S.
Suka nulis dan suka teknologi. Seneng ngomongin pengembangan diri, kerjaan, dan kepenulisan. Betah-betah di sini, ya.
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar