Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Mengenang Mading Sekolah, Tempat Saya Mengawali Karir Menulis

Pernahkah kalian menulis di majalah dinding atau mading sekolah? Ya, kali ini saya ingin mengenang mading sekolah, tempat di mana saya pertama kali memulai karir menulis.

Kita throwback ke tahun 2015, saat itu saya kelas 3 SMP dan merasa kesal karena mading sekolah selalu kosong dari tahun ke tahun. Giliran ada konten, isinya cuma nama orang-orang yang remedial.

Maka saat itu saya punya ide buat mengisi mading dengan berita yang saya tulis. Benar, berita! Anak SMP mana yang gemar menulis berita saat itu, apalagi wartawan cilik yang waktu SD begitu seru pun sudah kehilangan peminat.

Setiap pulang sekolah, saya mewawancarai guru atau siswa tentang berbagai topik. Terakhir, saya mewawancarai guru BK tentang apa yang harus dilakukan siswa kelas 3 dalam menghadapi Ujian Nasional.

Saat itu yang saya wawancarai adalah Ibu Mia, guru BK yang terkenal killer. Tanggapannya pun saya tulis di warnet dengan meniru gaya berita online di Detik atau Liputan6. Bermodalkan Rp500 saya mencetak berita hasil tulisan saya di warnet.

Besoknya, saya berangkat lebih awal. Tepat pukul 6 pagi saya sudah berada di sekolah hanya untuk menempel berita-berita yang saya tulis di mading. Rasanya senang ketika ada banyak orang yang membaca tulisan saya di mading.

Mengenang Mading Sekolah, Tempat Saya Mengawali Karir Menulis
Foto: VistaCreate

Dari sana lah saya bercita-cita menjadi seorang penulis dan wartawan. Sebab, saya merasa ada kepuasan tersendiri ketika berita yang saya tulis itu dibaca oleh siswa yang lain. Seperti merasa dihargai.

Akan tetapi, ada juga hal mengesalkannya. Setiap beritanya sudah basi, kertas hasil tulisan saya itu kerap dicabut oleh siswa lain dan dijadikan lap untuk membersihkan kaca kelas.

Awalnya, saya menyesal mengapa baru memulai hal itu saat kelas 3 SMP, seharusnya bisa dilakukan saat kelas 1. Akan tetapi, mungkin saja pemikiran saya baru terbentuk di kelas 3 sehingga punya sense untuk berkarya.

Di zaman sekarang, mading sekolah sudah tidak diminati. Siswa-siswa lebih senang berkarya melalui sosial media, blog, dan lain sebagainya. Padahal, menurut saya mading itu lebih kreatf. Orang yang senang visual bisa membuat desain mading yang keren.

Jika ada banyak orang seperti saya saat itu, mungkin juga saya menemukan siswa yang senang menulis puisi, prosa, cerpen, dan lain sebagainya. Sayangnya, tidak ada yang terdorong untuk melakukan hal yang sama.

Kini, mading sekolah seolah menjadi artefak yang usang, ketinggalan zaman, dan tidak relevan. Namun, saya tetap berharap ada sekolah yang membangkitkan lagi budaya itu.

Budaya mading sekolah, bisa membentuk jiwa literasi siswa yang lebih kuat dan kreatif. Teknologi AI yang muncul saat ini, malah membuat siswa kehilangan sisi kreatifnya. Hal ini dikarenakan mereka tidak dipupuk untuk memiliki mental seniman.

Mental seniman merupakan kunci seseorang untuk bisa berkarya dan berinovasi. Jika mentalnya masih mental pekerja, otomatis siswa hanya akan seperti robot ketika lulus nanti. Tidak memiliki daya juang dan daya saing di masa depan.

Sehingga, kesannya anak-anak zaman sekarang terkesan pemalas dan lemah menghadapi tantangan dan peluang masa depan. Wajar jika banyak yang menyebut Gen Z itu berkurang kualitasnya.

Setiap saya mengisi seminar atau pelatihan di sekolah atau kampus, selalu sedikit dari mereka yang berkarya. Misalnya, ketika mengisi pelatihan jurnalistik di LPM Penadialektika Unsur Cianjur, sangat terhitung jari mahasiswa yang gemar menulis setiap hari.

Saya kira, tidak semua Gen Z seperti itu. Semuanya pasti memiliki faktornya masing-masing. Gen Z senior seperti saya mungkin ditempa oleh orang tua, sekolah, komunitas, dan pergaulan. Tetapi, kita tidak tahu apa yang dialami dan dilalui Gen Z lainnya.

Oleh karena itu, saya harap siswa di zaman sekarang bisa didorong oleh sekolah untuk bisa berkarya. Salah satunya untuk bisa mengisi mading sekolah dengan karya-karya yang menarik dan bermanfaat. Dengan begitu, jiwa seni, jiwa inisiatif, jiwa inovatif siswa bisa terasah dan menguat. Cheers!

Opini sekolah siswa
Muhammad Afsal Fauzan S.
Muhammad Afsal Fauzan S.
Suka nulis dan suka teknologi. Seneng ngomongin pengembangan diri, kerjaan, dan kepenulisan. Betah-betah di sini, ya.
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar