Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Ikut Bukber Tapi Nggak Puasa

Ikut Bukber Tapi Nggak Puasa
Buka Bersama Alumni OSIS SMP Negeri 5 Cianjur 2014-2015 pada 26 September 2020 lalu. (Doc. Pribadi)

Fenomena ikut bukber atau buka bersama tetapi nggak puasa selama Ramadan sudah ada sejak lama. Bahkan mungkin sebelum saya lahir, tapi kenapa fenomena ini menjadi kebiasaan dan budaya, ya? Padahal ada budaya yang lebih penting untuk dilestarikan, yaitu budaya malu.

Sebenarnya, ikut bukber tapi nggak puasa itu nggak apa-apa, kalau mereka adalah perempuan yang sedang berhalangan. Karena mereka jelas tidak diwajibkan untuk berpuasa. Selain itu, mereka yang sedang sakit juga masih aman untuk tidak puasa, karena memang tidak diwajibkan. Tetapi, orang sakit mungkin agak aneh kalau ikut bukber. 

Orang non-muslim juga diperbolehkan ikut bukber walaupun nggak puasa. Walaupun judul acaranya ‘bukber’, bagi mereka mungkin itu hanyalah acara makan malam biasa yang diiringi obrolan asyik bersama teman-teman.

Jadi, pada dasarnya, sudah jelas bahwa fenomena ikut bukber tapi nggak puasa itu aneh dan seharusnya bisa berhenti dibudayakan. Tetapi, mungkin ada beberapa faktor yang menyebabkan budaya ini semakin menjadi-jadi.

Faktor pertama, menurut saya adalah modernisasi. Kini, remaja usia 20-an seperti saya, bisa mengakses informasi sebanyak-banyaknya dari manapun dan kapanpun. Sementara, di luar negeri, fenomena ‘kebebasan’ sedang digaungkan tanpa ada boundaries yang jelas.

Sering kali saya melihat di Instagram, anak muda dari luar negeri yang menggaungkan tentang kebebasan menentukan seksualitas. Ada yang pengen disebut dengan kata ganti ‘mereka’, ada yang pengen disebut sebagai laki-laki padahal perempuan, banyak…

Kebebasan tanpa boundaries atau batasan yang jelas, akan mengaburkan hakikat manusia yang sudah diberikan Tuhan. Alhasil, mereka menganggap bahwa kehidupan ini bisa ditentukan dan dijalankan tanpa merasa terbebani dengan banyak hal, seperti aturan agama.

Ada satu orang yang mengajak bukber tapi nggak puasa. Dia mengatakan “Aku ikut bukber tapi nggak puasa juga asik-asik aja,” 

BENGEUT SIA HURUNG!

Bukber memang sebuah kegiatan silaturahmi, bercengkerama dengan kerabat, dibarengi dengan interaksi yang asyik dan menyenangkan. Tetapi, hakikat aslinya bukan itu. Tetap, kegiatan bukber adalah aktivitas membatalkan puasa ketika waktu berbuka telah tiba.

Faktor kedua, pendidikan keluarga. Saya bukan anak yang dididik secara agamis. Tetapi, sejak kecil ya dimasukin ke pengajian. Apalagi almarhum bapak saya bisa disebut tokoh agama di kampung.

Tetapi, pendidikan dasar di keluarga tentang agama dan kehidupan sosial merupakan hal penting bagi anak. Mereka harus diajarkan dan dipahamkan terhadap bagaimana budaya dan tradisi yang ada di negara ini, tentang adab dan perilaku baik.

Semakin kuat ‘fondasi’ itu, semakin mantap ia menjalankan kehidupan. Tapi, apakah akan selalu lancar? Tidak juga. Ada kalanya seseorang memasuki usia remaja kemudian mulai ‘oleng’, maka di situ diperlukan adanya pendampingan.

Bagaimana jika tidak punya pendamping? Di dunia ini ada ratusan juta orang yang hidup, tentu salah satu di antara mereka bisa dijadikan sebagai pendamping. Saya ditinggal bapak dari kecil, dan pendamping saya dalam belajar adalah guru-guru saya.

Nah, bagaimana jika dia jelek dalam keagamaan, tetapi bagus dalam sosial? Saya tidak akan menjawab secara eksplisit. Pendapat saya, agama dan sosial adalah sesuatu yang satu padu dan membuat kehidupan ini menjadi indah.

Ketika kehidupan sosial mengajarkan banyak hal tentang logika dan teori, agama mengajarkan kita untuk teguh dan penuh pengharapan. Kedua hal itu sangat penting dan menjadi kesatuan utuh dalam menjalani kehidupan.

Seperti teori demotivasi yang akan saya jelaskan di Podcast Obrolan Dari Kamar sore ini. Seseorang bisa kehilangan motivasi, karena kehilangan keyakinan dan kepercayaan diri dalam menjalani kehidupan. Dan, agama mampu meningkatkan itu semua, sehingga bisa kembali termotivasi.

Jadi, kalau mau denger lebih lengkapnya bisa denger podcastnya, ya!

Bagaimana? Sudah merasa tercerahkan wahai pembacaku yang budiman, hehehe. Saya juga masih awam dalam hal ini, setiap hari mendengarkan ceraman para ulama Muhammadiyah atau menonton ceramah Habib Jafar. 

Tapi, dari kemarin, saya merasa bertanggung jawab untuk menyebarkan hal ini, semoga bisa membuka pikiran kita semua untuk terus menjalani kehidupan dengan baik. 

Sebenarnya, intinya gampang untuk menjawab fenomena ini. Ikut bukber tapi nggak puasa, boga kaera teu maneh? Punya rasa malu nggak?

Kalo nggak malu ya nggak normal!

Opini
Muhammad Afsal Fauzan S.
Muhammad Afsal Fauzan S.
Suka nulis dan suka teknologi. Seneng ngomongin pengembangan diri, kerjaan, dan kepenulisan. Betah-betah di sini, ya.
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar