Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Gen Z yang Ternodai

Gen Z yang Ternodai
Gen Z yang Ternodai. (Ilustrasi: Pexels.com)

Belakangan, saya banyak melihat konten-konten Instagram yang berkonotasi menyindir Gen Z. Mulai dari disebut memiliki sifat manja yang berlebihan, terlalu lebay dalam masalah mental, sampai fenomena agnostik yang disebut-sebut jadi tren di kalangan Gen Z. Mengapa demikian, dan apakah itu benar adanya?

Gen Z atau generasi yang lahir dari tahun 1997 sampai 2000-an kini menjadi generasi yang cukup diperhitungkan di masa depan. Bagaimana tidak, mereka, atau mungkin kita, adalah orang-orang yang hidup di tengah modernisasi dan kecanggihan teknologi, dengan segala hiruk pikuknya.

Generasi ini memiliki banyak ide cemerlang dalam berbagai hal. Bahkan mampu menciptakan profesi atau bidang pekerjaan yang dulu mungkin tidak pernah ada. Generasi ini mampu menjadi pendongkrak zaman dengan kreatifitasnya yang tanpa batas.

Tetapi, bagi saya, Gen Z kini ternodai dengan banyak hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh Gen Z itu sendiri. Saya tidak menampik bahwa banyak Gen Z yang kini terjebak dalam mental issue berlebihan tanpa memperhatikan aspek penguatan aspek. Juga, saya tidak menampik bahwa banyak Gen Z yang merasa paling agnostik dalam hal beragama.

Untuk isu yang pertama adalah sifat manja Gen Z. Bagi saya sifat manja, pemalas, dan sifat-sifat sejenisnya itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Tidak ada cukup bukti yang benar-benar membuktikan bahwa Gen Z mewarisi sifat manja yang berlebihan.

Sifat manja dibentuk oleh berbagai faktor seperti lingkungan, pola asuh, dan pengalaman hidup. Dan, bagi saya, pola asuh adalah yang paling berpengaruh karena keluarga seharusnya memberikan dan menguatkan fondasi dasar bagi seorang anak untuk bisa tetap ‘lurus’ dalam menjalani kehidupan.

Saya Gen Z, dan mungkin saya juga manja dan pemalas. Tetapi, saya mampu bekerja dengan tekun dan giat, belajar sampai kini masuk di tingkat akhir perkuliahan, membangun usaha di bidang digital, sampai menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain. Mungkin ada juga Gen Z yang lebih keren dan hebat dari saya, sehingga saya yakin tidak semua Gen Z adalah pemalas, atau setidaknya tidak dominan.

Isu yang kedua adalah soal mental health. Dalam pandangan saya, Gen Z memiliki tekanan mental yang lebih besar daripada generasi yang lain. Bagaimana bisa? Mungkin bagi anak 90-an, mereka tidak akan merasakan yang namanya Bullying Online. Sementara, hal itu dirasakan oleh Gen Z yang notabene hidup di dunia yang serba digital.

Arus informasi yang semakin cepat bisa memperkeruh keadaan sehingga membuat Gen Z memiliki banyak hal yang masuk ke dalam hidupnya. Bahkan, hidup seorang Gen Z bisa masuk ke kehidupan Gen Z yang lain tanpa harus berinterkasi. Kita, bisa berkelana ke mana pun hanya dengan internet.

Mungkin ada faktor lain yang melatarbelakangi masalah mental ini. Tetapi, bagi saya hal-hal di atas bisa menjadi patokan yang bisa saja paling berpengaruh. Akan tetapi, ada satu hal yang terus menerus muncul di kepala saya ketika membahas tentang Mental Issue, yaitu penguatan mental.

Gen Z terkadang lupa bahwa selain Mental Healing, ada yang disebut penguatan mental. Artinya, Gen Z pun seharusnya bisa memahami bahwa mental mereka tidak harus melulu dimanjakan, tetapi harus diperkuat. Bisa mulai memaksa diri untuk menyelesaikan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, sampai terus berusaha mencari jalan ketika ada masalah dalam hidup.

Kini, Gen Z cenderung lemah ketika tertimpa masalah. Mudah sekali untuk merasa putus asa dan kehilangan semangat saat tertimpa masalah. Akhirnya, mereka bisa mengambil jalan pintas, untuk ‘meringankan’ beban dalam sesaat.

Ada yang lari ke obat-obatan, narkoba, dan lain sebagainya. Ada juga yang lari pada tindakan bunuh diri, self harm, dan lain-lain. Padahal, bagi saya, setiap masalah dalam hidup itu jelas punya jalan keluarnya sendiri. Dan, sejak kecil saya dilatih untuk bisa beradaptasi dalam situasi sulit untuk setidaknya, membuatnya sedikit lebih mudah.

Lagi-lagi, fondasi utama dalam pemahaman ini adalah keluarga. Mental tempe Gen Z bisa saja karena orang tua yang terlalu memanjakan anaknya dari kecil. Sehingga, ketika keinginan mereka tidak terpenuhi saat dewasa, alhasil mereka akan merasa putus asa.

Tetapi, bisa saja orang tua sudah menerapkan pemahaman dasar tersebut, tetapi Gen Z ini yang terpengaruh oleh hal-hal yang sudah disampaikan di atas. Kini, mulai dari fashion, gaya hidup, dan lain-lain sangat cepat berubah, tren baru terus bermunculan dari minggu ke minggu.

Hal ini membuat Gen Z menetapkan standar hidupnya, berdasarkan informasi yang ia terima. Misalnya, role model seorang Gen Z adalah artis muda yang menggunakan ponsel iPhone. Maka, mereka pun akan berusaha untuk memenuhi standar gaya hidup tersebut, karena role model yang sudah tertanam di dalam kepalanya.

Sementara, ketika standar itu tidak terpenuhi, mereka tidak bisa mengatasi gejolak yang muncul dalam hati dan pikiran mereka. Sehingga, tidak ada jalan keluar dan solusi dalam mengatasi masalah ini. Mereka pun lari pada kesenangan instan dan singkat hanya untuk bisa tertawa lepas.

Kemudian, isu agnostik. Isu ini menurut saya sangat krusial dan fundamental. Didasari pada pemahaman, keyakinan, dan NAFSU seseorang. Bagi saya penganut Islam, beribadah seperti sholat adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan dalam kendala apapun.

Tetapi, sering kita temui Gen Z yang menganggap bahwa beragama merupakan keyakinan yang tidak harus diiringi ritual-ritual tertentu. Padahal, agama tidak bisa disamakan dengan teori antropologi dan sosiologi. Sebab, agama memiliki sifat mutlak yang benar-benar tidak bisa dicampuradukkan sembarangan.

Dalam artikel sebelumnya, saya pernah bercerita tentang ada seseorang yang ikut buka bersama tapi tidak puasa. Alasannya, adalah bahwa ketika ikut bukber tetapi tidak puasa pun tetap asyik karena situasi sosial yang menyenangkan.

Ada pula yang mengatakan bahwa ketika beragama Islam pun yang penting keyakinannya kuat. Tidak perlu sholat pun nggak masalah. Padahal, sholat sudah jelas ditentukan dalam Alquran dan Sunnah sebagai ritual wajib bagi umat muslim.

Nah, di sini saya menyimpulkan bahwa, Gen Z cenderung mencoba untuk menggabungkan keyakinan dengan nafsu duniawi yang ada dalam dirinya. Mencoba untuk tetap berharap surga, dengan cara yang diinginkan sehingga tidak merasa harus terbebani oleh perintah Tuhan.

Dari sini saya jadi yakin, bahwa jihad paling berat itu bukan melawan Israel, tapi melawan nafsu kita sendiri.

Saya tidak merasa oke dalam beragama, tetapi minimal saya tetap sholat dan puasa saat Ramadan. Karena, itulah fondasi utama yang diajarkan keluarga saya.

Pembahasan ini memang tidak mendalam, saya hanya menggunakan opini yang ada dalam kepala saya tanpa membaca banyak referensi. Mungkin, nanti saya akan bahas lebih dalam lewat podcast atau artikel selanjutnya.

Yang jelas, Gen Z harus terus berbenah dan berubah. Sebab, dalam kehidupan ini tidak ada peran utama. Kita adalah peran utama untuk kita sendiri, bukan dalam kehidupan secara utuh. Jadi, jangan selalu marah ketika keinginannya tidak terpenuhi, jangan merasa gila ketika tekanan kehidupan muncul, dan jangan mencoba untuk mempermainkan agama hanya demi merasa nyaman dalam menjalankannya. Semoga bermanfaat.

Opini
Muhammad Afsal Fauzan S.
Muhammad Afsal Fauzan S.
Suka nulis dan suka teknologi. Seneng ngomongin pengembangan diri, kerjaan, dan kepenulisan. Betah-betah di sini, ya.
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar