Menjadi Penulis di Era Digital Bisa Kaya, Tapi Harus Pinter

Penulis masih menjadi pekerjaan yang diidam-idamkan banyak orang, bahkan saya sekali pun masih berpegang teguh dengan profesi ini. Akan tetapi, menjadi penulis di era digital seperti sekarang ini malah mendapatkan banyak keraguan. Terlebih anak muda yang kini merasa menjadi penulis tidak akan bisa kaya.
Kebanyakan anak muda lebih senang menjadi seorang konten kreator, videografer, video editor, dan lain-lain yang berhubungan dengan dunia perkontenan. Padahal, menulis pun salah satu kegiatan membuat konten, namun bentuknya saja yang berbeda. Dan, ternyata menjadi penulis di era digital membawa harapan baru bagi anak muda zaman sekarang.
Saat ini platform menulis sudah bisa dengan mudah ditemukan di mana-mana, banyak website yang bersedia menerima tulisan publik dan dibayar mahal, bahkan ada pula agensi yang masih mau membayar penulis untuk kebutuhan klien. Kesempatan itu terkadang tidak dilihat dengan baik oleh anak zaman sekarang.
Hingga kini, menjadi penulis masih dihubungkan dengan novel, buku, sastra, dan sejenisnya. Padahal, dengan teknologi dan perkembangan media informasi yang semakin pesat, menjadi penulis kini memiliki cakupan yang lebih luas lagi.
Menjadi Penulis di Era Digital Bisa Kaya
Akan tetapi, untuk bisa menjadi penulis kaya di era digital, tentu bukan langkah yang mudah. Kecerdasan dan kepintaran menjadi senjata utama para penulis dalam meramu kata dan ide yang unik dan inovatif. Coba baca mojok.co, pophariini.com, dan media-media alternatif lainnya yang menawarkan sesuatu yang berbeda di dunia media massa.
Apakah para penulisnya kaya? Jelas! Saya kasih contoh di Mojok.co, penulis esai bisa mendapatkan Rp325 ribu untuk satu esai yang tayang. Namun, jika Anda menulis untuk Terminal Mojok, Anda dapat mendapatkan Rp25 ribu untuk satu artikel. Tentu, jumlah tersebut sangat lumayan untuk sekelas seorang penulis pemula.
Meskipun demikian, tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana penulis bisa memunculkan ide yang segar, liar, namun tetap masuk akal untuk pembaca. Tidak hanya untuk tulisan ilmiah, bahkan untuk sastra sekali pun penulis harus memutar otak agar bisa menyuguhkan karya yang menarik pembaca.
Sebagian mungkin akan bertanya, “apakah masih ada pembaca di zaman sekarang?”. Jawabannya, jelas masih ada! Coba kita lihat para penulis cerita di KaryaKarsa, mereka mendapat ratusan bahkan jutaan rupiah dari cerita yang dibeli oleh para pembacanya. Hal ini membuktikan, minat dan pasar sastra digital sangat menjanjikan.
Hanya, seperti yang sudah disampaikan di atas, kecerdasan dan kepintaran seorang penulis perlu diasah agar bisa menciptakan karya yang inovatif, unik, liar, dan masuk akal. Bahkan, bisa dibilang, penulis pun harus memunculkan ide yang bisa dikonversi menjadi sesuatu yang nyata.
Saya pernah menulis artikel di Terminal Mojok berjudul, Andai Bayar Tukang Parkir Bisa Scan Barcode, Pasti Tidak Sulit Cari Kembalian, yang menggambarkan keresahan saya ketika membayar parkir. Saat saya sudah menerapkan budaya cashless, namun budaya itu tidak bisa digunakan untuk bayar parkir, yang cuma Rp2 ribu. Andai membayar parkir menggunakan scan barcode, tentu akan lebih mudah.
Selain itu, saya juga pernah menulis artikel berjudul Jasa Ekspedisi Perlu Kembangkan Teknologi GPS Demi Ketenangan Bersama, yang berawal dari ketidaktenangan saya saat paket belanja online tidak datang-datang. Andai jasa ekspedisi punya teknologi GPS, pasti akan lebih tenang karena tahu letak paketnya ada di mana. Mungkin terkesan konyol, tetapi hal itu mungkin dilakukan di masa depan.
Dengan begitu, menjadi penulis di era digital ternyata bisa kaya, namun inovasi dan gaya penulisan tetap jadi utama. Penulis harus bisa mengeluarkan gagasan yang ‘gila’ namun saat dibaca tetap waras. Dengan begitu, pembaca pun tidak hanya akan mendapatkan hiburan, tetapi juga inspirasi tentang hal-hal baru yang ada di dunia ilmu pengetahuan.