Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Soal Kontroversi Ryu Kintaro, Bukannya Nggak Mau Positif Thinking Tapi Memang Hidup Ini Gila

Ngomongin kontroversi Ryu Kintaro, saya sih biasa saja walah kesal mendengar omongan dia soal perintis, tapi ini opini saya. Simak selengkapnya.

Soal Kontroversi Ryu Kintaro, Bukannya Nggak Mau Positif Thinking Tapi Memang Hidup Ini Gila

Sebetulnya, saya nggak mau ngomongin soal Ryu Kintaro yang menimbulkan kontroversi belum lama ini. Dia ngebahas soal hidup sebagai perintis yang menurutnya asyik. Katanya, nggak ada yang ngarahin, nggak ada kepastian hasil, dan lain sebagainya.

Saya menulis ini karena trigger dari opini John LBF di Instagram. Intinya, dia bilang motivasi Ryu Kintaro itu bagus. Bahkan, John juga meminta kita untuk tidak menghujat. Kemudian ada ungkapan klasik, “Jangan lihat orangnya, tapi lihat apa yang dibicarakannya.”

Memang, nggak ada yang salah dengan ungkapan Ryu Kintaro maupun John LBF. Tapi, tetap ada hal yang menyentil hati kami orang menengah ke bawah yang sama-sama merintis. Terutama soal ketimpangan kehidupan kami dengan Ryu.

Soal Hidup Sebagai Perintis

Saya seorang yatim sejak usia 11 tahun. Hidup di tengah keluarga menengah ke bawah sampai sekarang. Sejak dulu, kesempatan dapat uang banyak pun cuma pas lebaran karena dapat THR. Itu pun paling besar ya bisa dapat Rp1 jutaan. Nggak sampai Rp77 juta.

Ketika SMP saya mendapat uang jajan tambahan dengan menjadi kuli angkut Gas Elpiji. SMA saya menulis di majalah untuk dapat uang. Kuliah pun harus sambil kerja biar bisa lulus kayak sekarang. 

Saya, mungkin kami, hidup sebagai perintis yang nggak berproses dari usia 8 tahun lalu sukses di usia 9 tahun. Mungkin ada yang sukses di usia 25, malah ada yang di usia 30 atau 40. Sebab, modal dan prosesnya beda.

Nggak ada sedikit pun kami menyesal dengan segala pahit getir yang kami rasakan. Malah, saya bisa sampai menjadikan berbagai kegagalan sebagai komedi saat nongkrong. Ibaratnya, adu nasib. Tapi, itu membahagiakan.

Terkadang, bertemu tanggal ulang tahun malah jadi kecemasan tersendiri. Bulan ini saya 25 tahun. Hadiah yang saya dapatkan adalah kaos polo bagus dari pacar saya. Orang tua saya mungkin nggak ingat. Jangankan dihadiahi bisnis ayam goreng, dikasih ucapan pun nggak.

Pacar saya adalah perintis sejati. Dia memulai bisnis dari modal minim. Progresnya 1 persen demi 1 persen. Untuk dapat modal pun harus 1 tahun bekerja di pabrik. Bukan ngonten dengan gadget pemberian orang tua.

Kisah saya ini bukan adu nasib dengan Ryu Kintaro. Tapi, jadi tanda bahwa apa yang dilalui kami, itu lebih gila daripada yang diucapkan anak 10 tahun itu. Semangat kami sama dengan dia, tapi dia tetap berbeda.

BACA JUGA: Benarkah EQ Lebih Penting Dari IQ Untuk Sukses di Dunia Kerja?

Ilmu Harus Datang Dari Orang yang Tepat

Soal Kontroversi Ryu Kintaro, Bukannya Nggak Mau Positif Thinking Tapi Memang Hidup Ini Gila

Saya akan setuju dan antusias kalau yang ngomongin soal perintis itu John LBF. Dia sudah berproses dari masa ke masa, merasakan pahit getir kehidupan. Mungkin pernah bangkrut, atau kelilit utang.

Ungkapan “Jangan lihat siapa yang dibicarakan, tapi lihat apa yang dibicarakan” tak sepenuhnya bisa diterapkan. Saya akui apa yang dibicarakannya tidak salah, tapi sebagai anak, atau orang, yang pengalamannya baru 10 tahun hidup, rasanya jelas sulit diterima.Sama seperti kita mendengar sebuah ilmu, tapi bukan dari ahlinya.

Ketika kita ingin mempelajari sesuatu, pasti kita ingin mendengar dari orang yang ahli, bukan? Saya belajar menulis pertama kali dari guru saya yang juga seorang wartawan, bukan pada teknisi ahli otomotif. Ketika saya ingin belajar tentang komputer pertama kali, saya belaja dari kakak saya yang lulusan Rekayasa Perangkat Lunak.

Ilmu, harus datang dari orang yang tepat. Ryu Kintaro bisa relevan jika yang ia bicarakan adalah hal yang sasarannya untuk anak seusianya. Dia bisa membicarakan tentang bahaya bermain game berlebihan, cara belajar agar lebih mudah menyerap pelajaran, atau cara berbisnis dengan modal hasil menabung uang jajan.

Pantas jika banyak warganet yang merasa inferior dengan apa yang dibicarakan oleh Ryu. Seperti yang saya bicarakan sebelumnya, perintis yang dirasakan oleh kami, tidak sama dengan apa yang dilihat Ryu. Prosesnya berbeda. Jelas ini menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan.

Kesimpulan

Menjadi perintis merupakan sebuah keniscayaan bagi sebagian orang. Sebab, setiap orang punya nasibnya masing-masing sejak lahir. Ada yang dilahirkan dari keluarga serba berkecukupan seperti Ryu Kintaro, ada juga yang dilahirkan dari keluarga serba kekurangan. Keduanya tak ada yang salah, dan itulah hidup.

Para motivator di luar sana ada baiknya melihat dari sisi yang lebih luas. Kami bukannya malas atau kurang bekerja keras, tapi memang hasilnya belum besar. Tapi, dengan konsistensi, apa yang dilakukan hari ini, maka buahnya akan dituai besok hari.

Ada baiknya, kita sebagai warganet yang mungkin resah, mencoba untuk mengambil sisi baik dari kontroversi yang Ryu Kintaro munculkan. Bahwa ternyata, ada orang kaya yang ingin hidup seperti kita. Dan, sementara kita, ingin hidup seperti dia.
 

Daily Life Opini
Muhammad Afsal Fauzan S.
Muhammad Afsal Fauzan S.
Suka nulis dan suka teknologi. Seneng ngomongin pengembangan diri, kerjaan, dan kepenulisan. Betah-betah di sini, ya.
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar