Persimpangan

Sewindu aku merangkak, berjalan, dan berlari mengiringi suara jeritan yang ada di muka bumi ini, seperti cacing tanah yang tak kenal istirahat dan bertemu dengan gua misterius di dalamnya. Bersama angin rohku terbang mencapai angan-angan batiniah yang sangat sulit untuk digenggam, semu namun membahagiakan, dan melenakan tetapi menyakitkan. Kini tersadar aku di tengah kesunyian yang begitu ramai dengan suara-suara yang ada di dalam syaraf otak.
Berdiri aku di tengah persimpangan yang penuh dengan dilema, aku terdiam seperti anak kecil yang kehilangan es krimnya karena termakan matahari, seolah tak bisa berpikir jernih dan menentukan jalan mana yang harus dilalui. Setiap jalan punya keindahannya tersendiri, tetapi indah itu tidak pasti, seperti indahnya bunga melati yang kadang dianggap mengundang mahluk halus oleh masyarakat kita. Terduduk aku dalam lamunan setelah bayangan jalan itu mulai menampakkan sisi gelapnya masing-masing.
Jiwa ini takut akan berbagai sisi negatif tersebut, membuatku bergidik seperti tengah dikejar-kejar semburan anak panah dari langit. Anak panah itu mengincar jantungku, mencoba menghentikan setiap detak yang mengalun mengiringi kaki ini bernyanyi. Seketika aku tersadar di tengah antah berantah yang tak berpenghuni, kering dan kosong, hanya sinar matahari tanpa awan yang memakan setiap butiran pasir yang terinjak, seketika aku tahu itulah isi hatiku.
Tiba-tiba pasir-pasir menyusut, membentuk persimpangan yang sangat kutakuti, di sana muncul jalan lainnya yang telah lama hilang, dengan bunga-bunga yang tumbuh di pinggirannya. Tetapi, jalan tengah muncul menggenggam erat batin ini, mencoba mengetuk setiap pintu yang melapisinya, seperti seorang tamu yang mengharap teman lamanya keluar dari persinggahan dan bersua membahas kenangan-kenangan indah masa lalu.
Foto oleh Download a pic Donate a buck! ^ |
Tetapi, pintu itu masih terkunci meski terketuk, jiwa ini masih dipenuhi dengan awan keraguan yang menutup sinar matahari yang terpancar di dalam hati, seperti hendak menurunkan badai besar yang bergejolak, menimbulkan berbagai bencana besar antara hati dan pikiran. Aku terbaring dalam sakitku, merana dan penuh kemalangan, tetapi masih melihat persimpangan yang memang seharusnya kupilih. Setiap persimpangan itu menatapku dengan keindahan surga, tapi juga memberiku ancaman neraka.
Tak kuasa badan ini kembali bangkit dari kemalangan dan kenestapaan. Setiap senyuman yang hadir dalam balutan awan-awan mimpi masih menjelma menjadi sebuah keputusasaan yang meradang dalam hati, seperti kunang-kunang yang berhenti memberikan silaunya, gelap gulita buta. Aku mencoba memasuki salah satu dari persimpangan itu, kutaburi jalan itu dengan bunga-bunga keabadian yang dibekali ayat-ayat suci.
Jalan itu kosong, cantik dari luar tetapi rapuh di dalam. Penuh intrik dan gejolak-gejolak anak muda, selayaknya kupu-kupu yang hinggap di sampingku sore itu, akankah kupu-kupu ini akan tetap bahagia di jalan ini. Sesekali awan gelap memberikan hujan badai, tetapi terkadang angin sepoi memberinya kesempatan untuk tersenyum dengan mata indahnya.
Kubelai setiap bunga yang tumbuh di pinggir-pinggiran jalan ini, kelembutannya seperti belaian ibu pada sang bayi, seperti kasih sayang bapak pada putra tunggalnya, seperti wejangan nenek kepada cucu-cucunya. Ditataplah di ujung jalan sesosok manusia, dengan mata bulat besar dengan keindahan yang menyilaukan, sorotannya seperti memberikan jalan menuju langit ke tujuh. Simpul itu seperti memberikan pengharapan pada lelaki yang kebingungan di persimpangan.
Masih berdiri ia menatapku, memperhatikan segala kebodohan dan kerusakan akhlak yang ada dalam diriku, seperti ibu yang hendak memarahi anaknya yang main lewat maghrib. Tetapi, sayu matanya memberikan keteduhan, memberinya kelembutan, seperti pohon kapas yang menjatuhkan setiap kapas-kapasnya di musim gugur. Terdiam aku memandanginya, ketakutan aku menghampirinya. Aku kembali ke persimpangan.