Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Jiwa-Jiwa yang Hilang Diterpa Hujan

September masih mencoba membuat jiwa-jiwa yang hancur semakin rapuh dan rentan dengan percikan hujan dari langit. Tetapi, jiwa-jiwa itu seperti pohon karet yang diterpa hujan, tetap kokoh dengan getahnya yang mampu merekatkan dua hati menjadi satu. Apalah daya bebatuan-bebatuan di bawah sana, meski kuat kokoh, tetap bisa diterpa derasnya sungai dari hulu.

Terduduk aku bersama Gibran yang masih saja berkisah tentang cintanya yang hancur diambil Tuhan. Tetapi, aku tidak punya Selma dengan surga yang ada di tangannya, atau mata dengan segala keindahan bulan. Air-air yang turun dari langit masih membasuh semua lamunanku, tetapi tidak bisa terbang bebas sepert burung yang baru saja menyapaku.

Rumput-rumput itu seolah seperti saling bersahutan dengan hujan, mereka mencoba menghibur seorang pria yang masih berkutat di tengah belantara ghaib yang mereka sebut modernisasi. Burung-burung masih hilir mudik menyapa setiap senyuman yang kuterbangkan bersama mereka, biarlah mereka menyampaikannya padamu, meskipun bukan itu yang kamu inginkan.

Pohon-pohon karet itu masih saja melamun, mereka tidak ikut berbincang bersama rumput liar di bawahnya. Sama halnya dengan pohon pisang, mereka seperti enggan bercengkerama satu sama lain, sementara langit masih terus berteriak, menyuarakan bahwa ada lelaki hilang di belantara dunia.

Jiwa-Jiwa yang Hilang Diterpa Hujan
Foto oleh Being.the.traveller

Sungai masih terus bernyani menyanyikan lagu kepedihan, meski beberapa di antara manusia menyebutnya lagu keabadian. Semut-semut berpulang ke sarang dan menikmati secangkir kopi panas sambil membahas seberapa kejam manusia. Tetapi, manusia terus saja merasa rapuh akan segala masalah yang menimpanya.

Seketika bayanganmu muncul di sela-sela pohon karet itu, tersenyum dengan bola matamu yang bersinar. Menggenggam sepucuk harapan yang kini kau terbangkan kepadaku, tetapi menjauh darimu. Harapan itu kini terbawa arus sungai yang deras, hujan menyanyikan lagu perpisahan untuknya. Tetapi, aku malah ikut berlayar bersamanya.

Rona merah bibirmu seakan mengisyaratkan aku untuk tetap duduk dan berdoa, membiarkan langit dengen kesenduannya meresap ke dalam relung yang masih kosong. Tangisanmu malam itu begitu menusuk, tetapi tangisanku kini menguap bersama mentari sampai esok pagi. Dan membiarkannya pergi ke puncak tertinggi, hanya untuk menurunkannya ke lautan yang luas tak berpenghuni.

Tawamu hari itu, menjadi penanda bahwa aku pernah ternyenyum untuk sebuah rasa keingintahuan. Hujan mendengar kesedihan ini, sehingga percikannya membasahi penglihatanku. Langit membantuku untuk menangis, meskipun mata ini tetap saja kering dan kosong. Sosokmu masih berdiri di hadapanku, bercerita tentang apa yang sudah kita ukir berdua. Namun, tidak pernah terjadi.

Kau duduk di sampingku, bersandar di pundak ini, dan aku terbangun dari mimpi. Angan-anganmu masih terlalu jauh untuk kuharapkan, seperti bulan yang tak tentu kapan memunculkan purnamanya, seperti matahari yang kapan bisa menyapa seusai hujan. Seperti pelangi yang terbangun dari tidurnya, indah walau sesaat.

Daily Life
Muhammad Afsal Fauzan S.
Muhammad Afsal Fauzan S.
Suka nulis dan suka teknologi. Seneng ngomongin pengembangan diri, kerjaan, dan kepenulisan. Betah-betah di sini, ya.
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar