Hujan yang Mengikat Sebuah Harapan

Di bawah hujan nan dingin, seperti pohon kelapa menjulang aku bergetar dikoyak angin surga. Lugumu merambat seperti akar di rawa-rawa tak bertuan, mengikat dan menyesatkan jiwa seorang lelaki yang masih berkelana di hutan belantara. Benar jika karunia Tuhan itu selembut sutera tetapi juga berduri seperti batang mawar, tak kuasa aku menggenggammu, berdarah aku dirobek harapan.
Tak ada kuas dengan warna terindah untuk menggambar betapa cantik wajah itu. Seperti Hujan Bulan Juni aku berhenti berharap untuk ketidakmungkinan. Bulan September ini cukup puas dengan hujan yang sebenar-benarnya hujan. Membasahi jiwa yang dingin sepi sendiri. Beruntung seorang lelaki bisa terlena dengan simpul yang disulam dari bibir merahmu.
Aku masih duduk dengan wajah bingung dan stres berkepanjangan, seolah jiwa tak lagi mau memberi sarapan setiap pagi memulai hari. Tetapi makan siangku selalu dihantui oleh simpul itu, simpul yang kini entah milik siapa dan untuk siapa. Masih duduk aku di tengah September yang mulam durja, meneguk pahit manis karunia Tuhan, menghisap batang-demi batang tembakau yang konon merusak paru-paru.
Aku tidak jatuh cinta. Tuhan masih enggan memberikan karunia itu untuk pemuda yang terjebak pada masa-masa sulit, kala rezim masih mencekik tenggorokan demi tenggorokan kaumnya. Tak apa, terima kasihku pada lembut pandangan itu, yang entah milik siapa dan untuk siapa. Tak kuasa mata ini bertabrakan dengannya, kesunyian adalah musik yang mengalun setiap sore.
Tangan ini sudah kedinginan, seperti es yang tak kunjung menemukan gelasnya. Es itu terus membeku dan menanti sinar mentari untuk bisa diserap bumi. Namun, es ini hanya bisa dinikmati dengan segelas kopi yang datang dari jari jemari terampil. Tak seterampil diriku, yang berkutat si duna mahluk halus yang merambat dalam aliran listrik. Untuk itu aku terus berkesunyian, tanpa metronom, tanpa aba-aba.
![]() |
Gambar oleh F. Richter dari Pixabay |
Sudah cukup sulit aku bertumbuh, seperti pohon pisang yang terus saja mudah tumbang, yang berharap menjadi pohon palm dengan segala kemegahannya. Semua orang menoleh ke atas untuk melihatnya, butuh keberanian untuk memanjatnya. Aku masih sebatas pohon jambu yang kadang diharapkan, kadang dicaci. Setidaknya, benang demi benang yang kusulam menjadi pakaian indah ini takkan membuatmu malu suatu ketika Tuhan memberikan karunianya.
Padang ini menjadi tempat aku bertumbuh, dipenuhi rumput liar yang kuning dan tak bernyawa. Hijaumu akan selalu kukagumi sebagai karunia Tuhan yang paling indah, seperti hadiah puisi dengan segala kepedihannya. Seperti luka yang mengering dimakan matahari, tetap membekas namun penuh kenangan. Biarku catat ukiran jempol yang sudah kita bangun bersama selama beberapa purnama.
September ini masih hujan, matahari bersembunyi di balik awan-awan kepedihan yang menangis diterkam rindu. Biarlah matahari itu muncul ketika bunga lili itu tumbuh di tanahku, hingga petualangan ini berakhir dan mendapat jawaban dari segala pertanyaan. Hingga pakaian ini bisa dikenakan atau kujual, meskipun harga murah dan dibuat dan dijaga dengan air mata dan detak jantung, biarlah ini jadi pakaian indah. Meski bukan untukmu, untuk kita, setidaknya masih banyak manusia yang memerlukannya.
Sepatu ini sudah lusuh mengejar kelembutan surga dari tanganmu. Tangan ini telah mengelupas hingga tak mampu membelai angan-anganmu. Tapi bayanganmu seperti kunang-kunang di taman malam itu. Bersinar meski gelap, terbang gembira meski sunyi.